INI HANYA SOAL RASA (Bagian 3)
(Kemana Rasa Keberhambaanmu?)
by. Muhtar Fatony
Di kelas-kelas PPA sering trainer menyampaikan bahwa di dunia ini hanya ada dua status. Satu sebagai Khaliq (Yang Mencipta) dan selainNya adalah makhluq (yang dicipta/yang diatur). Kenapa ini penting kawan. Sebab jika Anda memahami posisi ini di hati maka Anda akan masuk ke dalam level hati yang terlalu sulit untuk dilukiskan sebab wilayahnya adalah wilayah rasa. Level kehambaan yang saya maksud adalah bahwa sejatinya hamba itu yang muncul adalah rasa tidak memiliki, rasa tidak mampu sendiri, rasa tidak memiiki kekuasaan (termasuk tidak kuasa menentukan hasil atas ikhtiarnya), rasa hina dan rasa butuh pertolongaan.
Di saat hati sudah merasa bahwa segala permasalahan hidup mampu diselesaikan sendiri maka ia akan menyandarkan pada usahanya, dan itu sangat melelahkan kawan. Masih ga percaya?
Semakin masuk pada level seutuhnya sebagai hamba-Nya yang dengannya akan memunculkan kesadaran diri sebagai makhluk 'yang ga bisa sendiri', makhluk yg sejatinya lemah (QS. 4: 28, 30: 54), banyak tidak tahunya/bodoh (QS. 33: 72, 17: 85), makhluk yang faqir (QS. 35 : 15). maka ia akan semakin mencari dan memerlukan nasehat (tadzkirah), memerlukan sandaran, memerlukan tempat bergantung. Nah,, pemahaman level keberhambaan inilah yang membuat hidup bukan hanya melahirkan ketenangan dan kebersyukuran tapi sering mendapatkan kemudahan dan pertolongan Allah. Akar dari Pola Pertolongan Allah (PPA) itu disini kawan. Yakni akar keberhambaan. Sehingga seorang hamba... Semua sudut pandang dan perilaku kita dari aktifitas ibadah mahdhoh hingga kegiatan bisnis dan rutinitas pekerjaan tidak akan lepas dari bentuk dan rasa keberhambaan pada-Nya.
So, kawan-kawan.
Jika kita sadar bahwa kita makhluq (yang dicipta) sepatutnya harus tunduk pada Yang Menciptakan. Bukan malah 'ndableg/bedegong'/bandel/tidak mau diatur. Sejatinya kunci dari terlepasnya dari belenggu persoalan hidup adalah ketika kita mau 'manut' pada aturanNya dan totalitas menjadi hamba (makhluq). Sebaliknya, datangnya persoalan hidup atau bahkan bertambahnya masalah itu tersebab ketidakterimaan pada datangnya masalah itu sendiri dan sudah tidah sepenuhnya menjadi hamba-Nya.
"Kita terlalu sering memikirkan keadaan kita saat ini tapi sangat jarang kita bertanya dan memikirkan tentang untuk apa kita diciptakan di sini".
Dan fitrahnya... ketika sudah mulai kehilangan rasa keberhambaan dan lalai dari memikirkan diri sebagai makhluq, lalai pada Sang Khaliq, maka hilang pula kesadaran diri sebagai hamba. Bersiap-siaplah memasuki level kehidupan yng sempit, tidak tenang, khawatir dan jauh dari pertolongan-Nya.
Yang belagu, sombong, 'petentang-petenteng' pasti akan jatuh!.
Yang kerjaannya nyusahin orang pasti akan susah hidupnya.
Yang terus saja buat kesalahan ke Allah pasti -cepat atau lambat- akan dihukum.
Yang memutus hubungan silaturahim (ganjalan tissu) maka akan putus pula perbendaharaan rizkinya.
dst ..
"Dan barangsiapa yang lalai/berpaling dari mengingat-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
(QS. Thaha, 20 : 124).
...
Ada satu hal dalam hidup yg mesti kita fahami kawan.
Sebenarnya.. ya sebenarnya Allah SWT sudah menyiapkan 'media/jalan' agar kita-nya selalu pada trek/jalur sebagai hamba dan dengannya memunculkan 'rasa keberhambaan itu'. Semua bentuk bentuk ibadah mahdhoh semisal shaum, shalat, berdzikir, berdoa dll sejatinya merupakan jalan-jalan pembinaan untuk penghambaan manusia di hadapan Allah SWT.
Dengan kata lain berbagai jalan ketaatan itu hakekatnya untuk menghadirkan dan menghidupkan rasa identitasnya sebagai makhluq dan untuk menghidupkan status keberhambaan pada-Nya.
Maka apabila telah terbangun di dalam dirimu kesadaran akan keberhambaan dirimu di hadapan Allah SWT lalu kesadaran itu menuntunmu menuju kepadaNya untuk menghiba.. mencibta... mengemis.. merayu.. memohon ridho-Nya... meminta pertolongan.. merendahkan diri meminta dariNya kemurahan memohon dari-Nya pengampunan dan penghapusan dosa dan mengaduan kepadaNya kelemahan dirimu niscaya Allah akan menerima pengaduan itu. Maka itulah maqom hamba dan itulah sebaik-baik kenikmatan.
Sayangnya, ada banyak orang yang menjalankan ketaatan, manut, nurut pada-Nya tapi ketaatannya itu tidak menuntunnya pada 'rasa keberhambaan'.. tidak menghidupkan kesadaran pada penghambaannya hanya pada Allah. Nampak soleh/solehah tapi hatinya keruh dan sibuk dengan penampilan ingin diakui oleh sesama makhluk. Yang ada adalah ujub (bangga diri) sampai pada 'merasa diri lebih baik dari orang lain'. Cobaan paling halus pada orang-orang yang baik adalah kesombongannya dengan kebaikan itu sendiri.
Maka apabila ketaatan yang engkau lakukan sudah tidak memiliki efek kecuali kesombonganmu dan banggamu terhadap diri sendiri (ujub binafsihi) maka itu tandanya mulai hilang rasa keberhambaanmu pada-Nya. Tandanya apa? diantaranya nampak/dipandang orang baik, tapi hati masih mudah khawatir, sering tidak tenangnya, senang jika dalam pujian dan 'pengakuan' namun sedih jika dalam cacian dan 'tiadanya pengakuan' sehingga.. sedikit demi sedikit mulai kehilangan rasa dalam keberhambaan pada-Nya.
Yang pelan pelan kehilangan rasa dalam keberhambaan maka ia akan pelan-pelan kehilangan Tuhannya.
Sebaliknya kawan, ada seorang hamba yang ketika berbuat dosa dan kesalahan lalu terjerembab jatuh, masuk dalam kubang ketakutan dan kekhawariran, dalam sempitnya keberkahan hidup jatuh dalam titik nadir bahkan minus tetapi disitu dia menemukan jalan keberhambaan... di dalam gelapnya ia menemukan setitik cahaya, semakin gelap tapi semakin terang.. semakin ia menangis dalam kehinaannya.. merasa diri paling munafik sedunia..paling sombong dari semua hamba...lalu ia merintih dalam kepasrahannya.. berikrar manut.. nurut.. tidak mau lagi mengulang kesalahan yg telah lewat... maka inilah tangga menuju level keberhambaan dan akhirnya menemukan Tuhannya... menemukan Allah SWT.
"Sungguh, tangisan dan rintihan seorang pendosa karena menyesali kemaksiatannya lebih dicintai Allah SWT daripada tasbih orang riya yang merasa bangga diri dengan tasbihnya."
Ibnu Athailah Al-Asykandariyah pernah menulis dalam kumpulan hikmahnya:
"Kemaksiatan yang mengakibatkan rasa kehinaan dan rasa sesal lebih baik daripada ketaatan yang mengakibatkan rasa bangga dan kesombongan". (Al-Hikam).
Maka, jangan pernah berhenti mengecek ke dasar hati sampai dimana rasa keberhambaanmu pada-Nya. Jangan sampai impianmu tentang dunia ini dan kesibukanmu mengejarnya membuat lupa menanya pada diri tentang status keberhambaan kita; untuk apa kita ada disini, sedang apa kita disini/apa yang engkau cari dan kemana lagi kita pergi setelah ini...
Wallaahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar