INI HANYA SOAL RASA (Bagian 2)

By. Muhtar Fatony

Pernah ga kawan, di satu hari kehilangan kesempatan untuk menikmati bersujud di sepertiga malam? Atau karena agenda yang sudah padat sehingga kehilangan kesempatan bersujud di waktu dhuha?.
Atau sampai seharian ini tak sempat bertemu dengan satu pun ayat untuk dibaca dan direnungi sepanjang hari ini? Seperti apa rasanya?

“ Ah, biasa aja mas”.

Atau ... ketika bisa melaksanakan ketaatan pada-Nya, dalam berdoa, shalat, bersedekah... adakah hati menjadi lebih tentram, nyaman dan semakin terasa dekat dengan Allah?

“Ah, biasa aja mas.”

Atau... ketika raga disibukkan dalam beramal dalam aktifitas-aktifitas kebaikan dan memberi manfaat kepada sebanyak-banyak orang seperti apa rasanya?

“Ah, biasa aja mas, malah terasa capek dan melelahkan..”

Semua yang sejatinya itu kesempatan bisa mendekat kepada Allah terasa biasa saja. Tidak ada rasa.
Tetapi ketika dijumpakan dengan hal hal dunia.. hal-hal selain-Nya justru sangat terasa sekali. Teramat sedih ketika hilang dan senang ketika datang.

Jujur kita kadang merasa sedih, mulai khawatir dan kecewa ketika uang penghasilan yang diperolehnya sedikit atau berkurang. Begitu kecewanya ketika usaha dan ikhtiarnya tidak jua memberikan hasil. Sebaliknya, sangat riang gembira ketika yang diperolehnya sedang banyak melimpah.

Sangat terasa sakitnya hati ketika ada kritikan dan cacian yg didengarnya atau tulisan yang dibacanya, dan sebaliknya terasa senang ketika ada pujian dan sanjungan yang dialamatkan padanya.
“Jika hati itu lebih dekat dengan Allah, dekatnya dan dapatnya Allah pada dirinya adalah rasa kenikmatan. Sebaliknya, jauh dan kehilangan Allah adalah puncak kesedihan. Tapi jika hati lebih dekat dan condong pada dunia maka dapatnya dunia adalah kegirangannya dan kehilangan dunia adalah kesedihannya”

Ada orang yang begitu sedih dengan kehilangan jabatan, harta, kekayaan atau kehilangan pengikut (jamaah/follower) tetapi tidak sedih ketika kehilangan Allah. Mengejar kesenangan dunia sampai-sampai tak peduli ia sedang kehilangan Sang Pemilik Dunia ini. Mengejar dan mempertahankan harga diri sampai sampai lupa akan hakekat diri.

Ada yang begitu khawatir kehilangan pekerjaan yang digelutinya saat ini tapi tak pernah merasa khawatir saat imannya ringkih terkikis oleh hiruk pikuk kesibukan.
Ada juga yang sudah sangat nyaman dengan posisinya/pekerjaannya saat ini sementara ibadah mulai terlalaikan, jeratan dosa melilitnya hingga hari-harinya semakin habis waktunya berduaan dengan Allah Azza Wajalla.

“Yang tak terasa disaat ia kehilangan Allah dalam hidupnya maka ia akan sangat terasa ketika kehilangan selain-Nya” Sebaliknya ... “Yang begitu terasa ketika kehilangan Allah dalam hidupnya maka ianya akan terhilangkan rasa (biasa saja) ketika kehilangan selain-Nya”.

Sekarang saya tanya.

Apa bedanya lembaran uang dan secarik kertas?. Sama sama terbuat dari kertas khan? tapi kadang kita lebih bahagia memegang uang dari pada selembar kertas. Dan begitu sedihnya kehilangan uang ketimbang kehilangan secarik kertas.

Apa bedanya duduk di jok angkot dengan duduk di jok mobil Alphard atau yg lebih executive dari itu? Padahal sama sama duduk berkendara.

Apa bedanya pujian & cemoohan orang? Yang satu membuat melayang dan lainnya bikin dada sesak. Dikritik sedikit saja sudah sakit hati, mutungan.. pundungan. Padahal itu hanya hembusan angin yang bersuara dari mulut atau sederet tulisan.

Ini hanya soal RASA.

Tempatnya rasa itu di dalam hati. Hati yang sudah kehilangan rasa akan hadirnya Allah dan hilangnya Allah dalam hidupnya maka itu pertanda hati yang mati. Mungkin awalnya sakit.. ada kehidupan tapi mulai terjangkit penyakit dan tapi lama kelamaan karena tidak dicek, tidak diperhatikan, tidak ditengok.. tidak diobati.. akhirnya akan mati (qolbun mayyit).

“Sebagian diantara tanda matinya hati, yaitu jika tidak merasa sedih (susah) karena tertinggalnya suatu amal perbuatan kebaikan (ketaatan) dan tidak ada penyesalan/kesedihan ketika ia berbuat dosa dan kesalahan” (Ibnu Athoillah).

Begitu juga ketika hati sehat. Hati ... Ketika isinya hanyalah Allaah saja. Maka tak ada yang membuatnya lebih berharga dari itu semua. Dan tak ada yang membuat lebih terhina. Selain hadir dan tidaknya ALLAAH dalam hati.

Inni wajjahtu... (kutawajjuhkan/Kuhadapkan wajahku) wajhiya.. (dan hatiku) Lilladzi fatharas samaawaati.. (Kepada Dzat yang menciptakan langit) wal ardha (dan bumi). Haniifam.. (Dengan lurus) muslimaw.. (dan dengan menyerahkan diri) Wamaa ana.. (Dan aku bukanlah) minal musyrikiin (dari golongan orang musyrik)

Inna shalaatii... (Sesungguhnya sholatku) wanusukii... (dan ibadahku) wamahyaaya...(dan hidupku) wamamaati...(dan matiku) Lillahi.. (Untuk Allah semata) Rabbil 'aalamiin (Tuhan Semesta Alam)
Kawan,

“ Jika hatinya tertuju hanya pada Allah dan bisa merasakan kehadiran-Nya di saat apapun maka dapatnya dunia tidak membuat ia bersuka ria dan perginya dunia tidak membuatnya sedih”.
'Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya'
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka terhadap apa yang terlepas dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”
(QS. Al Hadid: 22-23)

Wahai diri ...
Ternyata, semua ini cuma soal RASA.

Dunia hanya senda gurau dan permainan saja. Kesempatan kita untuk terus menanam kebaikan. Jangan gagalMerasa!! Bisa-lah merasa jangan merasa bisa (iso-o rumongso ojo rumongso iso)... 

Jangan tertipu!!!. Jangan Gagal fokus!!.

Komentar